Banda Aceh (pewarta.co) – Keputusan Gubernur Aceh Muzakir Manaf dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 17 Maret 2025 yang mengangkat kembali Fadhil Ilyas dan Numeri sebagai Direksi Bank Aceh menuai kontroversi.
“Keputusan ini dinilai cacat hukum dan dapat menciptakan dualisme kepemimpinan yang berisiko terhadap stabilitas bank serta kepercayaan publik”. Ungkap Ketua FPMPA Jon Jasdi dalam keterangan tertulisnya kepada Media ini. Rabu 19/03/2025.
Menurutnya terdapat sejumlah Kejanggalan yang Mencoreng Legalitas RUPSLB
1. Tidak Sesuai dengan UU Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007.
Hal ini tidak terdapat pemberitahuan atau undangan resmi RUPSLB yang ditandatangani oleh Direksi Bank Aceh, Rapat tersebut hanya dihadiri oleh beberapa pemegang saham, bukan seluruhnya. Keputusan rapat membatalkan hasil RUPSLB sebelumnya yang diadakan pada 14 Maret 2025.
Padahal, rapat tersebut dihadiri oleh Gubernur Aceh Muzakir Manaf sebagai Pemegang Saham
Pengendali serta seluruh bupati dan wali kota se-Aceh, baik secara online maupun offline.
Dalam rapat tersebut, Fadhil Ilyas dan Numeri telah diberhentikan dari jabatannya sebagai
Direksi.
2. Bertentangan dengan POJK No. 17 Tahun 2023 tentang Tata Kelola Bank.
Fadhil Ilyas ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas (PLT) Direktur Utama Bank Aceh tanpa
mendapat persetujuan dari OJK, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Ayat 6 POJK No. 17
Tahun 2023.
Padahal, Dewan Komisaris Bank Aceh sebelumnya baru saja menunjuk M. Hendra
Supardi sebagai PLT Direktur Utama dan telah mendapatkan persetujuan resmi dari
OJK.
3. Melanggar Surat Edaran OJK No. 39 Tahun 2016.
Direksi yang telah diberhentikan dan ingin diangkat kembali wajib menjalani uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) dari OJK. Namun, proses ini belum
dilakukan dalam keputusan RUPSLB 17 Maret 2025.
Bank Aceh: Mengelola Keuangan Daerah Triliunan Rupiah
Sebagai bank plat merah yang mengelola keuangan daerah dengan nilai triliunan rupiah, Bank Aceh memiliki peran strategis dalam mendukung pembangunan ekonomi daerah.
Namun, keputusan yang tidak sesuai aturan ini tidak hanya menciptakan ketidakpastian hukum, tetapi juga berisiko menimbulkan kerugian keuangan negara yang bersifat sistemik.
Meminta OJK dan Kejaksaan Tinggi Aceh Bertindak Tegas Kami meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) segera memberikan klarifikasi dan mengambil langkah hukum terkait keputusan ini. Selain itu, kami juga meminta Kejaksaan Tinggi Aceh untuk segera melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran dalam proses RUPSLB ini, mengingat dampaknya yang bisa merugikan keuangan daerah dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap
Bank Aceh.
Keamanan sistem perbankan daerah harus dijaga dengan baik agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan yang dapat berujung pada instabilitas ekonomi di Aceh. Semua pihak harus bertanggung jawab dalam menjaga transparansi dan tata kelola bank daerah demi kepentingan masyarakat luas. Tutur Jon Jasdi. (red)