Sentul (pewarta.co) – Dalam Rapat Kerja Percepatan Penyaluran dan Pemanfaatan Dana Desa Tahun 2020 di Provinsi Jawa Barat, bertajuk, “Peran Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah dan Pemerintah Daerah terhadap Percepatan Penyaluran dan Pengelolaan Dana Desa Tahun 2020,” yang digelar di Sentul International Convention Center, Sentul, Bogor, Senin (2/03/2020), Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menekankan pentingnya pengawasan terhadap pengelolaan dana desa. Sebab, dana yang ditransfer ke desa itu sangat besar. Pengawasan berbasis pembinaan sangat penting, agar dana desa tepat sasaran.
Menurut Mendagri, terkait pengawasan, kementeriannya tak punya tangan yang bisa menjangkau langsung desa. Yang bisa mengawasi desa itu adalah Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dan camat. Kemudian ada BPKP dan aparat penegak hukum. Tito minta dalam mengawasi pengelolaan dana desa, kedepankan pendekatan persuasif. Lebih ke pembinaan, ketimbang penegakan hukum.
“Kalau kurang administrasi jangan dipukul dulu, kira-kira gitulah. Dampaknya apa? Dampaknya adalah ada rasa ketakutan, ketika sudah takut keinginan Presiden agar uang ini beredar, uang ini jadi stagnan, karena ditakut-takutin. Akhirnya uang di bank saja. Akhirnya uang tidak beredar,” ujarnya.
Karena itu, Tito mohon APIP dalam mengawasi jadilah advisor, penasehat atau konsultan. Begitu juga dengan jaksa atau aparat polisi. Jangan kemudian proporsinya yang kuat adalah untuk untuk penegakan hukum. Lebih diperbanyak sisi persuasifnya. Memberikan bimbingan administrasi.
“Tapi kalau nyata-nyata masyarakat itu tidak menikmati apa-apa, yang menikmati perangkat desa saja, dipakai beli mobil baru, rumah baru, nah Pak Kapolres, Pak Jaksa bisa pukul, itu saya kira,” katanya.
Maka dalam konteknya ini, kata dia, sangat penting para kepala desa dan aparatnya paham akan ilmu-ilmu seperti manajemen, pemerintahan dan administrasi keuangan. Karena kepala desa itu adalah kepala pemerintahan di desa. Dan, paham akan administrasi keuangan, sebab dana desa itu duit negara. Duit rakyat. Bukan duit sendiri. Jika disalahgunakan bisa berkonsekuensi pada hukum.
“Nah kemampuan ini bisa didapatkan dari dua cara. Pertama secara swakarsa. Berupaya sendiri, belajar sendiri, lihat google, Youtube, yang tidak ngerti IT tanya temannya yang desanya maju, yang ngerti soal anggaran, tidak ada masalah tanyakan itu. Swakarsa artinya kepala desa belajar sendiri,” katanya.
Cara yang kedua, kata Tito, difasilitasi oleh pemerintah. Bupati bisa menugaskan Sekda atau Karo Pemerintahnya untuk membuat pelatihan. Begitu juga di provinsi, ada badan Diklat yang bisa didayagunakan untuk membuat pelatihan singkat.
” Tidak usah lama-lama seminggu saja.Bergelombang terus menerus dan dianggarkan, supaya kepala desa ini memiliki pengetahuan dasar. Sehingga dengan pengetahuan dasar ini mereka bisa mengelola dana desa dengan baik tanpa ada masalah. Kemudian mereka juga bisa mengendalikan pemerintahn di desanya, sekaligus bisa berinovasi, berkreasi. Jangan sampai terjadi kebalikannya. Sudah tidak bisa mimpin marah-marah pula, kemudian masalah pemerintahan tidak mau pusing, tak mau bangun hubungan sama badan musyawarah desa, tidak mau membangun hubungan dengan camat, bupati, gubernur,” tutur Tito. (Dedi/rel)