Medan (Pewarta.co)-Ranto R Simbolon, pemilik sertifikat PKPA yang ditandatangani Otto Hasibuan minta agar Hotman Paris Hutapea dapat hadir sebagai saksi di Pengadilan Negeri (PN) Medan.
Ia mengatakan bahwa gugatan yang sudah didaftarkan dalam perkara Perdata Nomor:338/Pdt.G/2022/PN Mdn akan memulai sidang tgl 17 Mei mendatang dengan kehadiran Hotman Paris Hutapea bisa memberikan kepastian akan daftar gugatan tersebut.
“Dengan kehadiran Hotman Paris Hutapea didalam proses persidangan gugatan di PN Medan, saya berharap nantinya sumbangsih pemikiran dan keilmuan Bapak Hotman Paris Hutapea dapat membantu Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut, semata-mata demi memperjelas status keabsahan sertifikat PKPA dari Peradi Otto Hasibuan diakui atau dibatalkan ,” ucap Ranto, Sabtu ( 30/4/2022).
Lebih lanjut Ranto menjelaskan, bila nantinya PN Medan membatalkan sertifikat PKPA Peradi Otto Hasibuan, maka gugatan selanjutnya dapat dilaksanakan.
“Dengan langkah ini bisa menentukan nasib saya juga teman-teman yang memiliki sertifikat PKPA yang ditandatangani Otto Hasibuan ,” jelasnya.
Sebelumnya, Ranto R Simbolon melalui kuasa hukumnya, Dwi Ngai Sinaga, Bennri Pakpahan dan sejumlah advokat melakukan gugatan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Dewan Pimpinan Cabang Peradi Medan. Gugatan teregistrasi kemarin, Kamis (21/4/2022).
Dalam pokok perkara, ada 3 gugatan. Pertama, menerima dan mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya.
“Kedua, menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum (on recht matigedaad),” tulis laporan.
Ketiga, menghukum para tergugat untuk membayarkan kerugian penggugat secara tanggung renteng yang ditimbulkan atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh para tergugat.
Gugatan dilayangkan karena Ranto merasa mengalami kerugian material. Pertama adalah biaya pendidikan profesi khusus profesi advokat sebesar Rp5 juta. Lalu, biaya pendaftaran pendidikan profesi khusus profesi advokat Rp250.000.
Selanjutnya, biaya sewa tempat tinggal sejak Oktober 2020 sampai dengan April 2022 sebesar Rp28,5 juta.
Keempat, biaya transportasi selama tinggal di Medan guna mengurus pendaftaran serta mengikuti proses PKPA senilai Rp3 juta. Terakhir adalah biaya hidup di Medan Rp11,4 juta.
Bukan hanya itu, Ranto juga mengalami kerugian imaterial. Dia merasa terpukul, waktu, pikiran dan tenaganya juga menjadi sia-sia selama mengurus proses pendaftaran dan mengikuti PKPA yang diselenggarakan oleh para tergugat.
Selain itu, penggugat juga harus menanggung malu karena di kampung sudah tersiar kabar PKPA yang diikutinya tidak sah. Konsekuensinya, Ranto harus mengikuti PKPA kembali.
“Hal ini akan memperlama penggugat dalam meraih cita-citanya untuk menjadi advokat. Dengan kata lain, usia penggugat untuk bisa menjadi advokat akan semakin tua. Yang mana hal-hal tersebut diatas bila dinominalkan adalah senilai Rp1 miliar,” papar Dwi Ngai Sinaga sebagai kuasa hukum.
Berdasarkan hitung-hitungan tersebut, Ranto mengalami kerugian Rp1.048.150.000. Oleh karena itu, pengadilan diminta menghukum para tergugat secara tanggung renteng untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp1 juta.
Hal tersebut dilakukan setiap hari kepada penggugat apabila para tergugat lalai dalam melaksanakan putusan tersebut.
Lalu, Ranto meminta putusan perkara dapat dijalankan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad) meskipun adanya upaya hukum perlawanan, banding, kasasi maupun verzet.
“Apabila Ketua Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa dan mengadili perkara ini berpendapat lain, penggugat mohon untuk dapat menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono),” pungkasnya sesuai isi gugatan. (ril)