Gayo Lues (pewarta.co) – M.Ali,SH Pengamat Hukum yang Juga Kativis Forum Parlemen Jalanan (F.PARAL) mempertanyakan tentang tindakan Pemerintah daerah Kabupaten Gayo Lues yang baru baru ini melakukan sosialisasi tentang rencana revisi Peraturan Bupati Gayo Lues Nomor 17 Tahun 2015 tentang tata cara kerjasama pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu pada lahan hak atas tanah dan areal penggunaan lain. Sementara sebagai mana kita ketahui peraturan bupati ini dulu juga sudah menuai masalah dalam penerapannya di akibatkan lahirnya qanun Aceh Nomor 07 Tahun 2016 tentang hutan Aceh yang merupakan turunan dari Undang Undang
Pemerintahan Aceh Nomor 11 tahun 2006 dan juga aplikasi dari undang undang 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah.
Sehingga M.ALI.SH menganggap peraturan bupati Gayo Lues yang akan di revisi ini bagaikan seorang anak yang lahir tanpa Bapak. Artinya tidak mendasar dan akanenjadi persolalan di kemudian hari. Seyogyanya peraturan Bupati itu lahir karena adanya Qanun di daerah itu sendiri. Apalagi judulnya Mengenai Hasil Hutan Bukan Kayu, sementara di dalam undang undang 23 dan UUPA jelas di atur tentang kewenangan pengelolaan hutan itu berada di tingkat provinsi dan pusat. Apalagi dengan lahirnya qanun nomor 07 tahun 2016 sebenarnya sudah menghapus secara langsung pemberlakuan perbub Gayo Lues nomor 17 tahun 2015 itu sebagai mana asas hukum yang kita ketahui bersama yaitu Lex superior derogate Legi inferior (adalah merupakan salah satu asas yang dikenal dalam peraturan perundang undangan mengandung arti peraturan yang lebih tinggi dapat mengesampingkan peraturan yang lebih rendah kedudukannya . Apabila revisi qanun ini terus dipaksakan maka akan terjadi dualisme hukum yang justru tidak memberi solusi . Dan yang seharusnya dilakukan pemerintah kabupaten Gayo Lues adalah bersama sama dengan pemerintah propinsi mengawal dan menerapkan aturan aturan yang sudah ada itu. Bukan malah terkesan memebuat produk hukum yang kemudian berpotensi menimbulkan konflik antar lembaga.
Sementara itu Ricky Udayara, SE.I menyoroti bahwa Hari iniPuluhan Ribu Hektar Pohon pinus di hutan Aceh Khususnya di Gayo Lues nyaris mati. Beberapa Pohon-pohon pinus mulai mengering dan rentan dengan kebakaran. Di duga kuat akibat penyadapan getah pinus yang berlebihan hingga satu batang pohon di sadap dengan satu sampai sepuluh lubang.
Terkait maraknya eksploitasi penyadapan getah pinus, yaitu di kabupaten Gayo Lues dan Aceh Tengah menggugah Ricky salah seorang aktivis lingkungan untuk berkomentar. Ricky meminta agar kementrian lingkungan hidup, dan kementrian kehutanan bertanggungjawab atas kerusakan hutan Pinus yang ditimbulkan dari penyadapan serta meninjau kembali perijinan maupun kerja sama Operasional (KSO) yang sudah di terbitkannya.
Menurutnya masih bayak masyarakat pemilik lahan dan pemerintah mulai dari tingkat desa sampai tingkat kecamatan yang tidak mengetahui secara administratif secara pasti siapa yang mengerjakan, siapa yang mengusulkan, kapan dikerjakan dan mereka (penyadap) memeroleh ijin dari siapa, sampai sekarang hal demikian masih menjadi kemelut di masyarakat dan tidak jarang sering terjadi konflik.
Ricky menambahkan bahwa di kabupaten Gayo Lues saja DLHK Aceh melalui KPH V dan KPltH III telah mengeluarkan Kerjasama Operasional (KSO) kepada 14 (empat belas perusahaan) antara lain PT.Kencana Hijau Bina Lestari (PT KHBL), PT. SYLVA Oleo Nusantara (PT.SON), UD.Malam Batik, CV Pia Rika Lestari, UD.Risqan, PT.Inhutani IV, PT.Ika Trias Serangkai, KSU Sara Ate, PT.Muzakar Kongsi, PT.Sinar Jaya Sukses Perkasa, PT. Bintang Jaya Makmur, Koprasi Uyem Lestari, PT. Bintang Perusahaan dengan luas bervariasi. Dan yang paling luas diberikan kepada PT. KHBL yang juga memiliki IUPHHBK (pabrik pengolahan Getah Pinus). Ijin kerja sama ini dikeluarkan sejak rentan waktu 2014 – 2019 dengan lama KSO ada yang 10 tahun dan ada yang 5 tahun.
Berdasar hal di atas dan setelah kami meneliti ke lapangan untuk memeriksa kebenarannya yang menjadi realitanya adalah sebagian besar pekerja (penderes) berasal dari pulau Jawa dan luar dari provinsi Aceh. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah para pekerja ini sudah terdata dan sudah di laporkan oleh perusahaan yang seharusnya bertanggung jawab terhadap penderesan kepada pemerintah setempat. Dan apakah perusahaan juga sudah memenuhi kewajibannya dalam hal memperkerjakan tenaga kerja sesuai dengan peraturan ketenagakerjaan yang ada.
Artinya Ricky menegaskan pemerintah kabupaten dapat mengambil peran lebih teknis dalam hal kerusakan lingkungan ataupun pendataan ketenagakerjaan maupun kontrol produksi yang dilakukan oleh perusahaan perusahaan yang ada. Sehingga akan sangat mudah bagi daerah untuk mengetahui dan mengontrol potensi pendapatan daerah dari HHBK khususnya Getah Pinus. Dengan demikian kebocoran kebocoran PAD bisa diminimalisir yang berakibat pada kerugian bagi daerah kita di Gayo Lues.
Apa yang dilakukan pemerintah daerah hari ini seharusnya bisa di kaji terlebih dahulu.dan sebagai putra daerah kami membuka pintu seluas luasnya untuk mendiskusikan hal ini. Dengan harapan daerah kita kabupaten Gayo Lues dapat menjadi daerah yang Islami, Sejahtera dan mandiri dengan memaksimalkan pemanfaatan Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) termasuk Getah Pinus. (red)